KATA PENGANTAR
Puji syukur
khadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmat serta hidayahNya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta
salam selalu penyusun haturkan kepada Nabi junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta para
sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun agar dapat
kita manfaatkan bersama untuk kehidupan kita sehar-hari. Tidak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada Ibu Hamnah, S.Ag, M.Th.I. sebagai
Dosen Pengampu Mata Kuliah Ulumul hadits.
Penyusun
mengakui bahwa makalah ini masih banyak yang perlu untuk diperbaiki. Untuk itu
penyusun memerlukan saran dan kritikan dari semua pembaca untuk
menyempurnakannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita bersama.
Sambas, 21 Oktober 2014
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................... ... i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
A.
Latar Belakang.................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................ 2
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul Hadits...................... 2
B.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Hadits
.... ... 4
C.
Kitab-Kitab Yang Membahas Ulumul Hadits .................... ... 7
D.
Cabang-Cabang Ulumul Hadits Dan Karya
Dibidangnnya...... 17
BAB III PENUTUP................................................................... ... 18
A.
Simpulan.............................................................................. 18
B.
Saran................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................ ... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan kemampuan daya ingat
diantara ulama serta banyaknya pemalsuan
hadis merupakan beberapa alasan mengapa ulama bangkit mengadakan riset terhadap
hadis-hadis yang beredar dan meletakkan dasar-dasar kaidah penting yang
terhimpun dalam ulumul hadits.
Ulumul hadits
merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama sekali
untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik dan tepat. Mengingat
pentingnya ulumul hadits serta sejarah penghimpunannya,
maka penulis merasa perlu mengangkatnya untuk dibahas dalam sebuah makalah yang
berjudul: “Ulumul hadits dan Sejarah Penghimpunannya”.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penyusun dapat merumuskan
beberapa masalah diantaranya:
1.
Apa pengertian dan ruang lingkup ulumul hadits?
2.
Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul hadits?
3.
Bagaimana kitab-kitab yang memuat ulumul
hadits?
4.
Bagaimana cabang-cabang ulumul hadits dan karya-karya di-bidangnya?
C.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi
tugas terstruktur juga untuk menambah wawasan pembaca seputar ulumul hadits
dan sejarah perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang
lingkup Ulumul hadits
Ilmu hadis atau ‘ulumul hadits
secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata ‘ulum’ adalah jamak dari kata ‘ilm’
berarti ilmu.[1]
Dalam bukunya Ulumul hadits, Abdul Majid
Khon menguraikan makna ilmu hadis dari segi bahasa, yaitu terdiri dari dua kata
yakni ilmu dan hadis. Ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science
dan hadis artinya segala sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah saw baik dari
perkataan, perbuatan maupun persetujuan.[2]
Secara terminologi, ilmu hadis
adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai
kepada Rasulullah saw dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut
kedabitannya dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya.[3]
Para ulama memberikan
istilah-istilah yang berbeda-beda terhadap ilmu yang berkaitan ilmu hadis.
Diantara istilah yang digunakan ialah ulum
al-hadits, ulum ushul al-hadits, ilmu mushthalah al-hadits, ilmu musthalah ahl
al-atsar dan musthalah ahl al-hadits.
Kesemuanya, pada dasarnya,
mengandung pengertian tentang masalah pokok yang dibahas dalam ilmu itu.
Sedangkan menurut Hasbi ash-shiddieqy pada masa mutaqaddimin dinamakan dengan ulum al-hadits dan pada masa mutaakhirin
terkenal dengan ilmu mushthalah.
Secara
global, ruang lingkup pembahasan ulumul hadits
mencakup dua bagian, yaitu: ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
1.
Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu
hadis riwayah adalah ilmu yang menukilkan segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat anggota tubuh
maupun sifat-sifat perangai.[4]
Dari
pengertian di atas dapat pula diketahui obyek dari pembahasan ilmu hadis riwayah, yakni pribadi Nabi
dari segi per-kataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya. Dengan
membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan, dan membukukan hadis. Dalam
kaitan ini, hadis hanya disebutkan padanya, tidak dibicarakan dari sudut
kualitasnya.
Adapun
tujuan pembahasan ilmu ini adalah mempelajari hadis dari segi hubungannya
dengan pribadi Nabi, untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya guna
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Disamping itu, ilmu ini juga
bertujuan untuk menjaga sunnah secara tepat dan menjaga kesalahan dalam
menyalin apa yang disandarkan kepada Rasulullah.
Ulama
yang membahas hadis dengan perspekti fil
muriwayah ialah Muhammad Ibn Syihabaz-Zuhari (51-124d H). Ia
menghimpun hadis Nabi atas Intruksi dari Umar bin Abu Aziz.
2.
Ilmu Hadis Diriwayah
Sedangkan
ilmu hadis diriwayah dalam arti khusus sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu
al-Akfani, yaitu ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya,
macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan para periwayat dan syarat-syaratnya
serta macam-macam yang diriwayatkan dan yang
berhubungan dengannya.
Obyek
pembahasan ilmu hadis dirayah ialah keadaan matan, sanad, dan rawi hadis.
Sedangkan
tujuan mempelajari ilmu hadis dirayah ialah untuk mengetahui dan menetapkan
dapat diterima atau ditolaknya sebuah hadis. Dengan demikian, ilmu hadis
dirayah sebagai “neraca” yang harus dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadis
riwayah. Kajian ini semakin penting karena didalamnya termuat kajian historis
analisis terhadap segala perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad.
Pembahasan ilmu hadis dirayah sudah dimulai sejak abad ke-2 H. Namun
pembaasan yang dilakukan pada saat itu masih berserak-serak dalam beberapa
kitab dan belum dibahas dalam satu kitab khusus serta belum merupakan ilmu yang
berdiri sendiri. Di antara ulama yang membahasnya ialah Ali bin Madany
(161-2340, al-Bukhari (198-252 H), Turmudzi (200-279 H).
B.
Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Ulumul hadits
Dalam
tataran praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak
periode Rasulullah saw, paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini
muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan
tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat sampai pada
mereka.
Pada
periode Rasulullah saw, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis)
yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakakukan
dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima
suatu hadis menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui
Rasulullah saw, atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada
periode sahabat, penelitian hadis menyangkut sanad maupun matan hadis
semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H; khalifah
pertama dari Al-Khulafa’ Ar- Rasyidun atau
Empat Khalifah Besar), misalnya tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan
oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk
memastikan kebenaaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian
pula, Umar bin Al-Khaththab (581-644 H; khalifah kedua dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun). Bahkan, Umar mengancam
akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak
mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan
persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh
seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas
kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan
tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan
kebenarannya, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq.
Semua yang
dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah saw.
Diantara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan
kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayaat hadis adalah
Anas bin Malik (w.95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubaidah bin
Ash-Ash-Tsamit.
Prinsip
dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan
oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Diantara
tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Musayab (15-94 H),
Al-Hasan Al-Bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi (17-104 H), dan
Muhammad bin Sirin (w.110 H). Pada periode ini penelitian dan kritik matan
semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang
mereka hadapi.
Pada akhir
abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk
sebagai ilmu hadis teoritis, disamping bentuk praktis seperti dijelaskan
diatas. Imam Asy-Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu
hadisnya secara tertulus sebagaimana terdapat dalam karya momuntalnya Ar-Risalah (kitab usul fiqh) dan Al-‘Umm (kitab fiqh). Hanya saja, teori
ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam satu kitab khusus, melainkan tersebar dalam
pembahasan dua kitab tersebut.[5]
Barulah di sekitar pertengahan abad
ke-3 Hijriyah sebagian dan Muhaddisin
merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan
dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Al-Madani (238 H),
Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara (spesialis) dalam satu kitab khusus
ialah Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (2.360 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul
Fasil Bainar Rawi Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah
an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makri fatu Ulumil
Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Na’dim al-Asfahani (336-430 H)
yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadis yang diberi nama Al-Kifayah dan
Al-Jami’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara
meriwayatkan hadis.
Begitulah selanjutnya bermunculan ahli hadis yang menyusun kitab Mustalahul
Hadits dengan berbagai macam sistem dan bentuk yang berlain-lainan, seperti
Imam As-Suyuti dengan kitab karyanya yang bernama Alfiyats, At-Taqrib dan
At-Tadrib, M. Mahfud At-Turmuzi dengan kitabnya yang bernama Manhaj
Azawin Nadai, Al-Hafid bin Hajar Al-AsqaLani dengan kitabnya Nuhabtul
Fikar.[6]
C. Cabang-Cabang Ulumul Hadits
1.
Ilmu dan Kaidah Hadis
Tentang Rawi dan Sanad
a.
Ilmu Rijal Al-Hadits
Munzier suparta
(2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadits
adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi
hadis.
Muhammad Ahmad dan M.
Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadis
adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat,
tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Adapun materi dari
ilmu ini adalah: Konsep tentang rawi dan thabaqah,
rincian thabaqah rawi serta
biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai
definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal
Al-Hadis adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dalam
memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan
sumber-sumber pemberitaannya. Ilmu yang membahas tentang hal ihwal kehidupan para rawi
dari golongan sahabat, tabiin, dan tabiu at-tabiin. Orang yang pertama kali
membukukan ialah al-Bukhari (256 H) dan dalam Thabaqat Ibnu Saad.[7]
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi
yang menerima hadis dari Rasullah saw, dan keadaan para perawi yang menerima
hadis dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui
sejarah ringkas para perawi hadis, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan
keadaan para perawi dalam menerima hadis.
Kitab-kitab Rizal
al-hadits:
1)
Usdul Gabah oleh Izzudin Ibnu Atsir, pada abad ke tujuh
hijriyah (630 H)
2)
Al Ishabah oleh Al Hafidh Ibnu
Hajar Al Asqolani Pada abad kesembilan hijriyah (mencakup usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab
kitab tersebut.
3)
Ainul Ishobah oleh As Suyuti
(merupakan ringkasan Al Ishabah)
4)
Wuzdan oleh Al bukhori dan
Imam Muslim (menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadis
saja yang bernama.
b.
Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya
merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal
Al-Hadis, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini
dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian
dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah
sebagai berikut:
Munzier Suparta
(2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh
yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
Para ahli hadis
mendefinisikan Al-Jarh dengan
kecacatan pada para perawi hadis, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak
keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil
yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan
dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau
pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit.
Ilmu ini digunakan
untuk menetapkan apakah pe-riwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau
ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya
harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadisnya dapat diterima
selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta
(2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui
perbuatan-perbuatan yang di-lakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup
perbuata: Bid’ah yakni melakukan
perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan
hadis; Jahalat al-hal, yakni tidak
diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak
bersambung.
Adapun orang-orang
yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai
berikut: Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara,
Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Ulama yang membahas ini ialah Ibnu Abbas, Ubaidah bin Shamit, Anas bin
Malik, Ibnu Sirin, al-Amasy, Syubah, dan lain-lain.
Fathur Rahman
(1987:279) menyebutkan kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini, antara lain:
1)
Ma’rifatur-rijal,
karya Yahya Ibnu Ma’in.
2)
Ad-Dluafa, karya Imam
Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 - 252 H)
3)
At-tsiqat, karya Abu
Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4)
Al-Jarhu wat tadil, karya
Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 - 326 H)
5)
Mizanul itidal, karya
Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 - 748 H)
6)
Lisanul mizan, karya
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 -852 H)
c.
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian
dari Ilmu Rijal Al-Hadis. Ilmu ini
mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari
orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Munzier Suparta
(2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis yang berkaitan dengan usaha
periwayatn mereka terhadap hadis. Mengenai hubungan antara ilmu ini
dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana
dikutip masih dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan
pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi
ada juga yang mempersamakannya.
Menurut As-Suyuti,
antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah sama saja
dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan
dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh
Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru.
Menurut Al-Shakawi,
bahwa ulama mutakhirin mem-bedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka
bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui
eksistensinya mem-perhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya mem-perhatikan kelahiran
dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini
dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa
yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka
mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata
yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk
membongkar kebohongan para perawi.
Ulama yang pertam kali membahas tentang thabaqat
ialah al-Waqidy (139-209 H) dan kitab yang banyak dipegangi oleh ulama
sekarang adalah Thabaqat Ibnu Saad
yang disusun oleh murid al-Waqidy.
2.
Ilmu Kaidah Tentang
Matan
a.
Gharib Al-Hadits
Menurut Endang
Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-hadits
adalah: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Yang dibahas oleh
ilmu ini adalah lafadz yang musykil dan susunan kalimat yang sukar
dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa
tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami
oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan
kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum tersebut dan kata-kata yang
kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
Endang Soetari juga
menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhadisin untuk menafsirkan keghariban
matan hadis, antara lain:
1)
Mencari dan menelaah
hadis yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2)
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadis atau shahabat lain yang tidak
meriwayatkan,
3)
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di nantara ulama yang yang merintis
dibidang ini adalah: Abu Ubaidah Muammar bin al-Masra al-Bashiry (210 H) dalam
bentuk yang ringkas dan disempurnakan oleh Abu Hasan al-Madla bin Syamil
al-Mazini (204 H) dengan menyusun yang lebih sempurna laagi. Kemudian
dilanjutkan lagi oleh Abu Ubaid al-Qasim as-Salman (223 H), Qutaibah (276 H)
dan Zamakhasyari, dengan kitabnya Al-Faiq
fi Gharib al-Hadits.
b.
Ilmu Asbab wurud al-hadits
Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan
Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan
satu benda dengan benda yang lainnya.
Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala
sesuatu yang mengantar pada tujuan. Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air
yang memancar atau yang mengalir.”
Dalam pengertian yang
lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadits, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu
hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad,
dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis
saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al-hadits seperti di atas,
dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab
wurud al-hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi
Muhammad saw menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda
Rasulullah saw tentang menyucikan air laut, yaitu, “Laut itu suci airnya dan
halal bangkainya”. Hadis ini dituturkan oleh Rasulullah saw ketika seorang
sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Perintis ilmu asbab wurud al-hadits adalah Abu Hamid
ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari
(339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan
Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.
Ilmu Tawarikh Al-Mutun
Ilmu yang menerangkan tentang kapan suatu hadis itu
diucapkan atau diperbuat oleh Rasulullah. Ini berguna untuk mengetahui nasik dan
mansukh suatu hadis. Ulama yang memberikan perhatian atas hal ini ialah Al-imam
sirajuddin Abu hafsh Amr al-Bulkiny Dalam bukunya Mahasinu al-ishtilah.
d.
Ilmu At-Tashif Wa
At-Tahrif
Menurut Mudasir
(2005:57), Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau
syakalnya (musahaf) dan bentuknya (muharraf). Ulama yang dianggap sebagai perintis terhadap hal ini ialah ad-Daruquthny
dan Abu Ahmad al-Asykay.
Diantara kesalahan
tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada
kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’
(Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit
berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat
kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana
tempat itu dipergunakan untuk shalat).
e.
Ilmu Mukhtalif Al-Hadis
Mudasir (2005:58)
mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang
hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar
pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara
keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau
kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta
menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini
dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu Mukhtalif
Al-Hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan
menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat
dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis
tersebut. Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu Mukhtalif Al-Hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil
al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang
dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Hadis mukhtalaf
terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk
menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang
telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang
memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita
mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita
dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang
diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang
mencapai sekitar lima puluh jalur.
Ulama yang pertama kali membahasnya ialah as-Syafii (204 H) dalam kitabnya Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah (276
H), Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji (307 H) dan al-Jauzi 598 H).
f.
Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh
Menurut Drs. H.
Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadis (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa al-mansukh disini terbatas
sekitar nasikh dan mansukh pada hadis. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua
pengertian, al-izzlah
(menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya
menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan
pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai dalam al-Qur’an,
antara lain dalam firman Allah swt surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat mana
saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS.
Al-Baqarah : 106)
Endang Soetari dalam
bukunya Ilmu Hadis (2005:213) menyatakan
bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang
tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan,
hanya sampai pada tingkat Mukhtalif
Al-Hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa
dijama’ (dikompromikan, maka Hadis yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua Hadis yang diwurudkan duluan dan yang
diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan.
Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang
duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa
cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah saw sendiri, keterangan
sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
Diantara ulama yang ahli dalam ilmu ini ialah Abu Ishaq ad-dinari Wahab bin
Salam (410 H), Muhammad bin Musa al-Hazimi (583 H) dan Ibnu Jauzi (597 H).
3.
Ilmu Kaidah Tentang Sanad
dan Matan
a.
Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Munzier Suparta
(2006:35) menyatakan kata ‘Ilal
adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah,
yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi
atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadis.
Adapun yang dimaksud
dengan Ilmu Ilal Al-Hadits menurut
Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat
mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan muttashil terhadap hadis yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadis yang mauquf, memasukan hadis kedalam hadis
lain, dan hal-hal yang seperti itu. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas
tentang suatu illat yang dapat
mencacatkan kesahihan hadis.
Endang Soetari,
menyatakan illat yang terjadi pada
sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu:
1)
Lahir sanad shahih
padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
2)
Hadis Mursal
dimusnadkan lahirnya.
3)
Hadis mahfuzh dari
shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat
tinggalnya.
4)
Hadis Mahfuzh dari
sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
5)
Meriwayatkan dengan
an-‘anah suatu hadis yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
6)
Berlainan sanadnya
dengan sanad yang lebih kuat.
7)
Berlainan nama
gurunya yang memberikan hadis dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru
tidak disebutkan dengan jelas.
8)
Meriwayatkan hadis
yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru
yang pernah memberikan beberapa hadis padanya.
9)
Meriwayatkan hadis
dengan sanad lain, secara waham terhadap hadis yang sebenarnya, hanya mempunyai
satu sanad.
10)Memauqufkan
hadis yang maufu.
Adapun beberapa ulama
yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327
H) yakni kitab Ilal Al-Hadis. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan
Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b.
Ilmufann al-Mubhamat, ilmu yang menerangkan tentang
nama-nama orang yang tidak disebutkan namanya didalam matan dan sanad. Ulama
yang merintis nya ialah al Khatib al-Baghdad.
D.
Kitab-Kitab Yang Membahas Ulumul hadits
Pada permulaan abad ke-14 umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah
kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat persentuhan antara
dunia Islam dengan Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan
kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Maka muncullah
informasi yang mengaburkan eksistensi oleh orang-orang yang mudah terbawa arus
serba asing, lalu mereka turut mengumandangkannya dengan penuh keyakinan.
Kondisi ini menuntut disusunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi
tersebut informasi tersebut guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan
mereka. Maka tersusunlah kitab-kitab ulumul
hadits
seperti:
1.
Qawaid At-Tahdis karya Syekh Jamaludin Al-Qasimi.
2. Miftah As-Sunnah atau Tarikh Famun
Al-Hadis karya Abdul Aziz Al-Khuli.
3. As-Sunnah Wa Makanatuha Fi At-Tasyri Al-Islami Karya Dr. Mustafa As-Siba’i.
4. Al-Hadis Wa Al-Muhaddisun Karya Dr. Muhammad Abu Zahw
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil
beberapa simpulan, yaitu: Ilmu hadis atau ‘ulumul
hadits
secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Secara terminologi, ilmu
hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis
sampai kepada Rasulullah saw dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut
kedabitannya dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya.
Barulah sekitar abad ke tiga
hijriyah sebagian dari Muhaddisin merintis ilmu ini dalam garis besarnya saja
dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin
Al-Madani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lain-lain.
Hal ini dilakukan semata-mata
didorong agar hadis Nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para
penghafalnya.
Cabang-cabang ilmu hadis dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu: ilmu dan kaidah hadis tentang rawi dan sanad, tentang matan, tentang
sanad dan matan. Kitab yang membahas ulumul hadits
antara lain: Al-Muhaddis Al-Fasil
Baina Ar-Rawi Al-Wa’ikarya Al-Qadhi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi Al-Hasan
bin Abdur rahman bin Khallad dan Kifayah
fi Ilmi Ar-Riwayah, karya Al-Khatib Al-Bagdadi Abu Bakar bin Ahmad bin
Ali.
B.
Saran
Mengingat pentingnya Ulumul hadits, maka perlu bagi kita untuk memahami dan mempelajari Ulumul hadits dan seluk-beluknya serta sejarah
penghimpunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul MajidKhon.
2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Agus Solahudin dan Agus Suyudi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. 2010. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Hasbi
ash-shiddieqy. 1987. Pokok Pokok Ilmu
Dirayah Hadis.
Jilid
I. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy. 1987. Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Hasbi
ash-shiddieqy. 1995. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis. Jakarta:
Bulan Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy. 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Mahmud
at-Tahhan.
t.th . Taysir Mushthalah al-Hadis. Surabaya: Bungkul Indah.
Mudasir.
1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV
PustakaSetia.
Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka
Setia.
Muhammad Ahmad dan Muhammad
Mudzakir. 2000. Ulumul hadits. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Muhammad Ahmad. 2004. Ulumul
Hadis. Bandung; Pustaka Setia.
Munzier Suprapta. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta: Grafindo Persada.
Nuruddin
Ltr, 1995. Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, terjemahkan oleh Endang Soetari
AD dan Mijinyo dengan juduk Ulum al-Hadis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Syuhudi Ismail. 1991. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
[2] Abdul MajidKhon, UlumulHadis, (Jakarta:
Amzah, 2009), hal: 68
[3] Mudasir, IlmuHadis, (Bandung: CV
PustakaSetia, 1999), hal: 41
[4] Nuruddin Ltr, Manhaj an-Naqd
fi Ulum al-Hadis, terjemahkan
oleh Endang Soetari AD dan Mijinyo dengan juduk Ulum al-Hadis (Bandung:Remaja
Rosda Karya, 1995), Hlm.8
[6]Drs. Muhammad Ahmad dan Drs. Muhammad Mudzakir, Ulumul hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2000), hal: 39-40
[7] Hasbi ash-shiddieqy, Pokok
Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid I
(Jakarta:Bulan Bintang, 1987), Hlm.37
No comments:
Post a Comment