Wednesday 14 January 2015

makalah sejarah dan cabang ulumul hadis



KATA PENGANTAR
Puji syukur khadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmat serta hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta salam selalu penyusun haturkan kepada Nabi junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun agar dapat kita manfaatkan bersama untuk kehidupan kita sehar-hari. Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada Ibu Hamnah, S.Ag, M.Th.I.  sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Ulumul  hadits.
Penyusun mengakui bahwa makalah ini masih banyak yang perlu untuk diperbaiki. Untuk itu penyusun memerlukan saran dan kritikan dari semua pembaca untuk menyempurnakannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita bersama.


                                                             Sambas, 21 Oktober 2014



                                                                        Penyusun,

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................... ... i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
A.  Latar  Belakang.................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah................................................................. 1
C.   Tujuan................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................ 2
A.  Pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul  Hadits...................... 2
B.   Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul  Hadits .... ... 4
C.   Kitab-Kitab Yang Membahas Ulumul  Hadits .................... ... 7
D.  Cabang-Cabang Ulumul  Hadits Dan Karya Dibidangnnya...... 17

BAB III PENUTUP................................................................... ... 18
A.  Simpulan.............................................................................. 18
B.   Saran................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................ ... 19

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perbedaan kemampuan daya ingat diantara ulama serta  banyaknya pemalsuan hadis merupakan beberapa alasan mengapa ulama bangkit mengadakan riset terhadap hadis-hadis yang beredar dan meletakkan dasar-dasar kaidah penting yang terhimpun dalam ulumul  hadits.
Ulumul  hadits merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama sekali untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik dan tepat. Mengingat pentingnya ulumul hadits serta sejarah penghimpunannya, maka penulis merasa perlu mengangkatnya untuk dibahas dalam sebuah makalah yang berjudul: “Ulumul  hadits dan Sejarah Penghimpunannya”.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penyusun dapat merumuskan beberapa masalah diantaranya:
1.    Apa pengertian dan ruang lingkup ulumul  hadits?
2.    Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul  hadits?
3.    Bagaimana kitab-kitab yang memuat ulumul  hadits?
4.    Bagaimana cabang-cabang ulumul  hadits dan karya-karya di-bidangnya?

C.  Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi tugas terstruktur juga untuk menambah wawasan pembaca seputar ulumul  hadits dan sejarah perkembangannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Ruang lingkup Ulumul  hadits
Ilmu hadis atau ‘ulumul  hadits secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata ‘ulum’ adalah jamak dari kata ‘ilm’ berarti ilmu.[1]
Dalam bukunya Ulumul  hadits, Abdul Majid Khon menguraikan makna ilmu hadis dari segi bahasa, yaitu terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadis. Ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science dan hadis artinya segala sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah saw baik dari perkataan, perbuatan maupun persetujuan.[2]
Secara terminologi, ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah saw dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedabitannya dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya.[3]
Para ulama memberikan istilah-istilah yang berbeda-beda terhadap ilmu yang berkaitan ilmu hadis. Diantara istilah yang digunakan ialah ulum al-hadits, ulum ushul al-hadits, ilmu mushthalah al-hadits, ilmu musthalah ahl al-atsar dan musthalah ahl al-hadits.  Kesemuanya, pada dasarnya, mengandung pengertian tentang masalah pokok yang dibahas dalam ilmu itu. Sedangkan menurut Hasbi ash-shiddieqy pada masa mutaqaddimin dinamakan dengan ulum al-hadits dan pada masa mutaakhirin terkenal dengan ilmu mushthalah.
Secara global, ruang lingkup pembahasan ulumul  hadits mencakup dua bagian, yaitu: ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
1.    Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang menukilkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat anggota tubuh maupun sifat-sifat perangai.[4]
Dari pengertian di atas dapat pula diketahui obyek dari pembahasan ilmu hadis riwayah, yakni pribadi Nabi dari segi per-kataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya. Dengan membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan, dan membukukan hadis. Dalam kaitan ini, hadis hanya disebutkan padanya, tidak dibicarakan dari sudut kualitasnya.
Adapun tujuan pembahasan ilmu ini adalah mempelajari hadis dari segi hubungannya dengan pribadi Nabi, untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Disamping itu, ilmu ini juga bertujuan untuk menjaga sunnah secara tepat dan menjaga kesalahan dalam menyalin apa yang disandarkan kepada Rasulullah.
Ulama yang membahas hadis  dengan perspekti fil muriwayah ialah Muhammad Ibn Syihabaz-Zuhari (51-124d H). Ia menghimpun hadis Nabi atas Intruksi dari Umar bin Abu Aziz.
2.    Ilmu Hadis Diriwayah
Sedangkan ilmu hadis diriwayah dalam arti khusus sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu al-Akfani, yaitu ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan para periwayat dan syarat-syaratnya serta macam-macam yang diriwayatkan  dan yang berhubungan dengannya.
Obyek pembahasan ilmu hadis dirayah ialah keadaan matan, sanad, dan rawi hadis.
Sedangkan tujuan mempelajari ilmu hadis dirayah ialah untuk mengetahui dan menetapkan dapat diterima atau ditolaknya sebuah hadis. Dengan demikian, ilmu hadis dirayah sebagai “neraca” yang harus dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadis riwayah. Kajian ini semakin penting karena didalamnya termuat kajian historis analisis terhadap segala perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad.
Pembahasan ilmu hadis dirayah sudah dimulai sejak abad ke-2 H. Namun pembaasan yang dilakukan pada saat itu masih berserak-serak dalam beberapa kitab dan belum dibahas dalam satu kitab khusus serta belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Di antara ulama yang membahasnya ialah Ali bin Madany (161-2340, al-Bukhari (198-252 H), Turmudzi (200-279 H).

B.   Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul  hadits
Dalam tataran praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasulullah saw, paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat sampai pada mereka.
Pada periode Rasulullah saw, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu hadis menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah saw, atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H; khalifah pertama dari Al-Khulafa’ Ar- Rasyidun atau Empat Khalifah Besar), misalnya tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula, Umar bin Al-Khaththab (581-644 H; khalifah kedua dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun). Bahkan, Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah saw. Diantara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayaat hadis adalah Anas bin Malik (w.95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubaidah bin Ash-Ash-Tsamit.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Diantara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Musayab (15-94 H), Al-Hasan Al-Bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110 H). Pada periode ini penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis, disamping bentuk praktis seperti dijelaskan diatas. Imam Asy-Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulus sebagaimana terdapat dalam karya momuntalnya Ar-Risalah (kitab usul fiqh) dan Al-‘Umm (kitab fiqh). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam satu kitab khusus, melainkan tersebar dalam pembahasan dua kitab tersebut.[5]
Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian dan  Muhaddisin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Al-Madani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara (spesialis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (2.360 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Rawi Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makri fatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Na’dim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadis yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jami’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadis.
Begitulah selanjutnya bermunculan ahli hadis yang menyusun kitab Mustalahul Hadits dengan berbagai macam sistem dan bentuk yang berlain-lainan, seperti Imam As-Suyuti dengan kitab karyanya yang bernama Alfiyats, At-Taqrib dan At-Tadrib, M. Mahfud At-Turmuzi dengan kitabnya yang bernama Manhaj Azawin Nadai, Al-Hafid bin Hajar Al-AsqaLani dengan kitabnya Nuhabtul Fikar.[6]

C.  Cabang-Cabang Ulumul  Hadits
1.    Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a.    Ilmu Rijal Al-Hadits
Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadis adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Adapun materi dari ilmu ini adalah: Konsep tentang rawi dan thabaqah, rincian thabaqah rawi serta biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadis adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya. Ilmu yang membahas tentang hal ihwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin, dan tabiu at-tabiin. Orang yang pertama kali membukukan ialah al-Bukhari (256 H) dan dalam Thabaqat Ibnu Saad.[7]
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadis dari Rasullah saw, dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadis, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadis.


Kitab-kitab Rizal al-hadits:
1)   Usdul Gabah  oleh Izzudin Ibnu Atsir, pada abad ke tujuh hijriyah (630 H)
2)   Al Ishabah oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani Pada abad kesembilan hijriyah (mencakup usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab kitab tersebut.
3)   Ainul Ishobah oleh As Suyuti (merupakan ringkasan Al Ishabah)
4)   Wuzdan oleh Al bukhori dan Imam Muslim (menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang bernama.   
b.    Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadis, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut:
Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
Para ahli hadis mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadis, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit.
Ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah pe-riwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadisnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang di-lakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuata: Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut: Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Ulama yang membahas ini ialah Ibnu Abbas, Ubaidah bin Shamit, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, al-Amasy, Syubah, dan lain-lain.
Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini, antara lain:
1)   Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.
2)   Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 - 252 H)
3)   At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4)   Al-Jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 - 326 H)
5)   Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 - 748 H)
6)   Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 -852 H)
c.    Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadis. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Munzier Suparta (2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadis. Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana dikutip masih dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya.
Menurut As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru.
Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin mem-bedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya mem-perhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya mem-perhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi. 
Ulama yang pertam kali membahas tentang thabaqat ialah al-Waqidy (139-209 H) dan kitab yang banyak dipegangi oleh ulama sekarang adalah Thabaqat Ibnu Saad yang disusun oleh murid al-Waqidy.
2.    Ilmu Kaidah Tentang Matan
a.    Gharib Al-Hadits
Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-hadits adalah: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadz yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum tersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhadisin untuk menafsirkan keghariban matan hadis, antara lain:
1)   Mencari dan menelaah hadis yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2)   Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadis atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3)   Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di nantara ulama yang yang merintis dibidang ini adalah: Abu Ubaidah Muammar bin al-Masra al-Bashiry (210 H) dalam bentuk yang ringkas dan disempurnakan oleh Abu Hasan al-Madla bin Syamil al-Mazini (204 H) dengan menyusun yang lebih sempurna laagi. Kemudian dilanjutkan lagi oleh Abu Ubaid al-Qasim as-Salman (223 H), Qutaibah (276 H) dan Zamakhasyari, dengan kitabnya Al-Faiq fi Gharib al-Hadits.
b.    Ilmu Asbab wurud al-hadits
Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya.
Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan. Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang mengalir.”
Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadits, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al-hadits seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud al-hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad saw menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah saw tentang menyucikan air laut, yaitu, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadis ini dituturkan oleh Rasulullah saw ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Perintis ilmu asbab wurud al-hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.    Ilmu Tawarikh Al-Mutun
Ilmu yang menerangkan tentang kapan suatu hadis itu diucapkan atau diperbuat oleh Rasulullah. Ini berguna untuk mengetahui nasik dan mansukh suatu hadis. Ulama yang memberikan perhatian atas hal ini ialah Al-imam sirajuddin Abu hafsh Amr al-Bulkiny Dalam bukunya Mahasinu al-ishtilah.
d.   Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahaf) dan bentuknya (muharraf). Ulama yang dianggap sebagai perintis terhadap hal ini ialah ad-Daruquthny dan Abu Ahmad al-Asykay.
Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat).
e.    Ilmu Mukhtalif Al-Hadis
Mudasir (2005:58) mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu Mukhtalif Al-Hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu Mukhtalif Al-Hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.
Ulama yang pertama kali membahasnya ialah as-Syafii (204 H) dalam kitabnya Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji (307 H) dan al-Jauzi 598 H).
f.    Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh
Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadis (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa al-mansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadis. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai dalam al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah swt surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)
Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadis (2005:213)  menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-Hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadis yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadis yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah saw sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
Diantara ulama yang ahli dalam ilmu ini ialah Abu Ishaq ad-dinari Wahab bin Salam (410 H), Muhammad bin Musa al-Hazimi (583 H) dan Ibnu Jauzi (597 H).
3.    Ilmu Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a.    Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadis.
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadits menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan muttashil terhadap hadis yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadis yang mauquf, memasukan hadis kedalam hadis lain, dan hal-hal yang seperti itu. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadis.
Endang Soetari,  menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu:
1)   Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
2)   Hadis Mursal dimusnadkan lahirnya.
3)   Hadis mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.
4)   Hadis Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
5)   Meriwayatkan dengan an-‘anah suatu hadis yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
6)   Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
7)   Berlainan nama gurunya yang memberikan hadis dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
8)   Meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadis padanya.
9)   Meriwayatkan hadis dengan sanad lain, secara waham terhadap hadis yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
10)Memauqufkan hadis yang maufu.
Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadis. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.  
b.    Ilmufann al-Mubhamat, ilmu yang menerangkan tentang nama-nama orang yang tidak disebutkan namanya didalam matan dan sanad. Ulama yang merintis nya ialah al Khatib al-Baghdad.

D.  Kitab-Kitab Yang Membahas Ulumul  hadits
Pada permulaan abad ke-14 umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dengan Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Maka muncullah informasi yang mengaburkan eksistensi oleh orang-orang yang mudah terbawa arus serba asing, lalu mereka turut mengumandangkannya dengan penuh keyakinan.
Kondisi ini menuntut disusunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut informasi tersebut guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Maka tersusunlah kitab-kitab ulumul  hadits seperti:
1.    Qawaid At-Tahdis karya Syekh Jamaludin Al-Qasimi.
2.    Miftah As-Sunnah atau Tarikh Famun Al-Hadis karya Abdul Aziz Al-Khuli.
3.    As-Sunnah  Wa Makanatuha Fi At-Tasyri Al-Islami Karya Dr. Mustafa As-Siba’i.
4.    Al-Hadis Wa Al-Muhaddisun Karya Dr. Muhammad Abu Zahw
5.    Al-Manhaj Al-Hadis Fi Ulum Al-Hadis karya Al-Ustadz Dr. Syekh Muhammad As-Simahi.[8]

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa simpulan, yaitu: Ilmu hadis atau ‘ulumul  hadits secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Secara terminologi, ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah saw dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedabitannya dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya.
Barulah sekitar abad ke tiga hijriyah sebagian dari Muhaddisin merintis ilmu ini dalam garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Al-Madani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lain-lain. Hal ini dilakukan semata-mata didorong agar hadis Nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya.
Cabang-cabang ilmu hadis dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: ilmu dan kaidah hadis tentang rawi dan sanad, tentang matan, tentang sanad dan matan.  Kitab yang membahas ulumul  hadits antara lain: Al-Muhaddis Al-Fasil Baina Ar-Rawi Al-Wa’ikarya Al-Qadhi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi Al-Hasan bin Abdur rahman bin Khallad dan Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah, karya Al-Khatib Al-Bagdadi Abu Bakar bin Ahmad bin Ali.

B.   Saran
Mengingat pentingnya Ulumul hadits, maka perlu bagi kita untuk memahami dan mempelajari Ulumul  hadits dan seluk-beluknya serta sejarah penghimpunannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul MajidKhon. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Agus Solahudin dan Agus Suyudi. 2009. Ulumul Hadis.  Bandung; CV. Pustaka Setia.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra.
Hasbi ash-shiddieqy. 1987. Pokok Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy. 1987. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Hasbi ash-shiddieqy. 1995. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy. 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.  Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mahmud at-Tahhan. t.th . Taysir Mushthalah al-Hadis. Surabaya: Bungkul Indah.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV PustakaSetia.
Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir. 2000. Ulumul  hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhammad Ahmad. 2004. Ulumul Hadis. Bandung;  Pustaka Setia.
Munzier Suprapta. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta: Grafindo Persada.
Nuruddin Ltr, 1995. Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, terjemahkan oleh Endang Soetari AD dan Mijinyo dengan juduk Ulum al-Hadis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Syuhudi Ismail. 1991. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.



[1] Agus Suyadi  dan Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: PustakaSetia, 2013), hal: 105
[2] Abdul MajidKhon, UlumulHadis, (Jakarta: Amzah, 2009), hal: 68
[3] Mudasir, IlmuHadis, (Bandung: CV PustakaSetia, 1999), hal: 41
[4] Nuruddin Ltr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis, terjemahkan oleh Endang Soetari AD dan Mijinyo dengan juduk Ulum al-Hadis (Bandung:Remaja Rosda Karya, 1995), Hlm.8
[5] Agus Solahudin dan Agus Suyudi. Ulumul Hadis.  Bandung; CV. Pustaka Setia. 2009, Hlm. 123-125
[6]Drs. Muhammad Ahmad dan Drs. Muhammad Mudzakir, Ulumul hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal: 39-40
[7] Hasbi ash-shiddieqy, Pokok Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid I (Jakarta:Bulan Bintang, 1987), Hlm.37
[8] Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis, (Bandung;  Pustaka Setia. 2004). Hlm. 48-49

No comments:

Post a Comment

Biografi dan Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh

DAFTAR ISI                                                                                                 KATA PENGANTAR .........