Wednesday 14 January 2015

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL (MASAILUL FIQHIYAH)



HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL
Oleh: Ria Sari & Nanik

A.  Latar Belakang
Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini adalah banyaknya yang menikah saat wanita sudah hamil karena perzinaan, mirisnya lagi, hal seperti diatas sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Namun, masalah yang timbul adalah bolehkah wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam kondisi hamil, baik itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun dinikahi oleh orang yang bukan menghamilinya? Bolehkah mereka mengadakan senggama? Benarkah mereka harus menikah dua kali?
Nah dalam kesempatan inilah, kami akan membahas seputar tentang hukum menikahi wanita hamil. Sebenarnya hukum menikahi wanita hamil karena zina berarti ada sangkut pautnya dengan masalah hukum menikahi wanita zina. Ketentuan ini juga yang dapat menentukan sah atau tidaknya menikahi wanita hamil serta sekaligus menentukan harus atau tidaknya menikah sekali setelah melahirkan.

B.   Pembahasan
1.    Defenisi
Menikahi wanita hamil dalam hukum Islam disebut juga at-tazawwuj bi-al-hamil yang dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dan wanita yang sedang hamil karena zina. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan, yaitu dihamili dulu baru dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
2.    Hukum Menikahi Wanita Hamil
Hukum menikahi wanita hamil dikategorikan menjadi dua yaitu hukum menikahi wanita yang dihamili dulu dan menikahi wanita yang dihamili oleh orang lain baru dinikahi oleh orang yang bukan menghamilinya. Berikut penjelasannya:
a.    Hukum Menikahi Wanita Yang Hamil Olehnya Sendiri
Dalam hal ini ulama dari empat mazhab sepakat dan menetapkan bahwa perkawinan keduanya adalah sah, dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru ia mengawininya.
Akan tetapi Ibnu Hazm mengatakan : “keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertaubat dan mengalami hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah berzina”, pendapat Ibnu Hazm ini dilandasi berdasarkan keputusan hukum yang telah diterapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang berbuat hal tersebut, antara lain diriwayatkan :
1)   Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan kedua orang yang telah berzina, maka ia berkata “boleh mengawinkannya asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifatnya.
2)   Seorang lelaki tua mengajukan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar, lalu berkata “Hai amirul mu’minin, putriku telah dikumpuli oleh tamuku, dan kuinginkan agar keduanya dikawinkan, ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya, kemudian dinikahkan.
KHI  berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menhamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.


Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut.
1)   Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)   Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)   Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.[1]
Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi perkawinan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi rasa malu (karena sedah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “tambelan“, “pattongkogsi sirig”,atau orang sunda menyebutnya kawin “nutupan kawirang”, oleh KHI dihukumi tidak sah untuk dilakukan.
b.    Hukum Menikahi Wanita Hamil Oleh Orang Lain
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang menentukan hukum untuk menikahi wanita hamil yang dihamili oleh orang lain, yaitu:
1)   Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, karena bila dikawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah ayat dan keterangan dari hadist yang bersumber dari Sa’id bin Musayab yang berturut-turut disebutkan yang artinya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min”. Pendapat ini juga diperkuat oleh Ibnu Qudamah dengan menambahkan bahwa seorang laki-laki tidak halal mengawini perempuan yang diketahuinya bahwa ia telah berzina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:
a)    Perempuan tersebut telah melahirkan kandungannya bila ia hamil
b)   Perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera, baik dalam kondisi hamil ataupun tidak.
2)   Imam Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibaany mengatakan, perkawinannya sah tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama, hingga bayi yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada hadist yang Artinya:
“Sabda Nabi SAW: Janganlah engkau menghamili wanita yang hamil hingga lahir (kandungannya)”
3)   Sepakat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan: perkawinan seorang laki-laki dengan wanita yang telah dihamili oleh orang lain adalah sah, karena tidak terikat dari perkawinan orang lain. Dan boleh pula mengumpulinya karena tidak mungkin nashab (keturunan) bayi yang terkandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Maka bayi tersebut tetap bukan keturunan orang yang mengawini ibunya.[2]


3.    Syarat Menikahi Wanita Hamil
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan hamil yang berzina. Syaratnya adalah sebagai berikut:
a.   Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
1)   Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
2)   Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
3)   Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.”(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Lima syarat benar taubatnya:
a)    Ikhlash karena Allah.
b)   Menyesali perbuatannya.
c)    Meninggalkan dosa tersebut.
d)   Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
e)    Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
b.   Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:


1)   Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
2)   Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
3)   Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
a)    Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:
تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً لاَ
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
b)   Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ مَنْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
c)    Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
نَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ أَرَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). 
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:
 الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَأُولَاتُ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”  (QS. Ath-Tholaq: 4)
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah: 228)[3]

C.  Simpulan
Dari uraian diatas, penulis mengemukakan argumentasi bahwa asal  hukum perkawinan dengan wanita hamil oleh laki-laki yang menghamilinya ataupun yang bukan menghamilinya adalah haram. Haramnya menikahi wanita hamil oleh orang lain didukung dengan firman ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min”.
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Sah yang dimaksud disini adalah sebatas sahnya sebuah pernikahan sahaja sesuai firman Allah Dari Aisyah ra berkata, “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, “Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Tabarany dan Daruquthuny).
Sedangkan untuk berhubungan badan diharamkan hingga wanita melahirkan. Sesuai dengan Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ مَنْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” 
Karena niad awal mereka menikahi wanita hamil tersebut adalah untuk menutup aib sang wanita hamil. Mereka baru bisa melakukan jima’ bila sudah menikah lagi setelah wanita melahirkan dan tidak disyaratkan harus setelah 40 hari dan kami belum menemukan keharusan menikahi ulang setelah 40 hari ataupun ketentuannya. Jika mereka masih melakukan jima’ sebelum lepas masa iddahnya dan sebelum menikah dua kali keduanya termasuk zina.
Namun Kantor Urusan Agama (KUA) seakan membolehkan menikah dalam kondisi hamil. Sesuai fakta, mereka mau menikahkan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun yang tidak. Tapi kami belum survey ke KUA tentang apakah syaratnya sama ataupun tidak. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini justru kebalikannya. Jarang pernikahan mereka dua kali dilaksanakan. Sekarang dikembalikan pada anda, anda meyakini yang mana. Wallahu’alam.




DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, 1991/1992), hlm. 34
http//:akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hokum-menikah-dalam-keadaan-hamil/diakses tanggal 4 maret 2008


[1] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, 1991/1992), hlm. 34
[3] http//:akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hokum-menikah-dalam-keadaan-hamil/diakses tanggal 4 maret 2008

No comments:

Post a Comment

Biografi dan Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh

DAFTAR ISI                                                                                                 KATA PENGANTAR .........