HUKUM MENIKAHI WANITA
HAMIL
Oleh: Ria Sari & Nanik
A. Latar Belakang
Fenomena yang
menjamur di kalangan muda-mudi saat ini adalah banyaknya yang menikah saat
wanita sudah hamil karena perzinaan, mirisnya lagi, hal seperti diatas sudah
dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Namun, masalah yang timbul
adalah bolehkah wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam kondisi hamil, baik
itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun dinikahi oleh orang yang
bukan menghamilinya? Bolehkah mereka mengadakan senggama? Benarkah mereka harus
menikah dua kali?
Nah dalam kesempatan
inilah, kami akan membahas seputar tentang hukum menikahi wanita hamil.
Sebenarnya hukum menikahi wanita hamil karena zina berarti ada sangkut pautnya
dengan masalah hukum menikahi wanita zina. Ketentuan ini juga yang dapat
menentukan sah atau tidaknya menikahi wanita hamil serta sekaligus menentukan
harus atau tidaknya menikah sekali setelah melahirkan.
B.
Pembahasan
1.
Defenisi
Menikahi wanita
hamil dalam hukum Islam disebut juga at-tazawwuj bi-al-hamil yang
dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dan wanita yang sedang hamil
karena zina. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan, yaitu dihamili dulu baru
dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan
menghamilinya.
2.
Hukum Menikahi Wanita Hamil
Hukum menikahi wanita hamil dikategorikan menjadi dua yaitu hukum
menikahi wanita yang dihamili dulu dan menikahi wanita yang dihamili oleh orang
lain baru dinikahi oleh orang yang bukan menghamilinya. Berikut penjelasannya:
a.
Hukum Menikahi Wanita Yang
Hamil Olehnya Sendiri
Dalam hal ini
ulama dari empat mazhab sepakat dan menetapkan bahwa perkawinan keduanya adalah
sah, dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang
menghamilinya baru ia mengawininya.
Akan tetapi Ibnu
Hazm mengatakan : “keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila
ia telah bertaubat dan mengalami hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah
berzina”, pendapat Ibnu Hazm ini dilandasi berdasarkan keputusan hukum yang telah
diterapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang berbuat hal tersebut,
antara lain diriwayatkan :
1)
Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan
mengawinkan kedua orang yang telah berzina, maka ia berkata “boleh
mengawinkannya asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifatnya.
2)
Seorang lelaki tua mengajukan keberatannya kepada Khalifah
Abu Bakar, lalu berkata “Hai amirul mu’minin, putriku telah dikumpuli oleh
tamuku, dan kuinginkan agar keduanya dikawinkan, ketika itu khalifah memerintahkan
kepada sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya, kemudian dinikahkan.
KHI berpendapat
bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita
itu laki-laki yang menhamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang
menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak
memberikan peluang untuk itu.
Secara
lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut.
1)
Seorang
wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.[1]
Sebagaimana yang
tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi perkawinan wanita hamil hanya
dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain
bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih
terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya
hanya untuk menutupi rasa malu (karena sedah terlanjur hamil), baik istilahnya
kawin “tambelan“, “pattongkogsi sirig”,atau orang sunda
menyebutnya kawin “nutupan kawirang”, oleh KHI dihukumi tidak sah untuk
dilakukan.
b.
Hukum Menikahi Wanita Hamil Oleh Orang Lain
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang menentukan
hukum untuk menikahi wanita hamil yang dihamili oleh orang lain, yaitu:
1)
Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan,
karena bila dikawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. Pendapat ini
berdasarkan pada sebuah ayat dan keterangan dari hadist yang bersumber dari
Sa’id bin Musayab yang berturut-turut disebutkan yang artinya:
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mu’min”. Pendapat ini juga diperkuat oleh Ibnu Qudamah
dengan menambahkan bahwa seorang laki-laki tidak halal mengawini perempuan yang
diketahuinya bahwa ia telah berzina dengan orang lain, kecuali dengan dua
syarat:
a)
Perempuan tersebut telah
melahirkan kandungannya bila ia hamil
b)
Perempuan tersebut telah
menjalani hukuman dera, baik dalam kondisi hamil ataupun tidak.
2)
Imam Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibaany mengatakan,
perkawinannya sah tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama, hingga bayi
yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada hadist yang Artinya:
“Sabda
Nabi SAW: Janganlah engkau menghamili wanita yang hamil hingga lahir
(kandungannya)”
3)
Sepakat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan:
perkawinan seorang laki-laki dengan wanita yang telah dihamili oleh orang lain
adalah sah, karena tidak terikat dari perkawinan orang lain. Dan boleh pula
mengumpulinya karena tidak mungkin nashab (keturunan) bayi yang terkandung itu
ternodai oleh sperma suaminya. Maka bayi tersebut tetap bukan keturunan orang
yang mengawini ibunya.[2]
3.
Syarat Menikahi Wanita Hamil
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan
dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan hamil yang berzina. Syaratnya
adalah sebagai berikut:
a.
Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista
Dalam pensyaratan
taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
1)
Disyaratkan bertaubat.
Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu
‘Ubaid.
2)
Tidak disyaratkan
taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
3) Tarjih
Yang benar dalam
masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109:
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar
tanpa keraguan.”
Tarjih di atas
berdasarkan firman Allah ‘Azza
wa Jalla:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ
إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.
Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau
berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ
أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ
وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ.
قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ
لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ:
لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy
membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur
disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata:
“Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu
saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau
diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau
memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi
dia.”(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no.
2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269,
Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan
disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini
tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun
hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat.
Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut
berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ
الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang
tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan
oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama
yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah
pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang
mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum
bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan
di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563
(cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Lima syarat benar
taubatnya:
a)
Ikhlash karena Allah.
b)
Menyesali
perbuatannya.
c)
Meninggalkan dosa
tersebut.
d)
Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan
mengulanginya.
e) Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum
matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
b.
Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda
pendapat apakah lepas ‘iddah,
apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak,
ada dua pendapat:
1)
Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat
Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury,
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
2)
Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat
Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada
satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan
boleh ber-jima’ dengannya
setelah akad, apakah
orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau
selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya
adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain
orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari
janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut
dalam keadaan hamil.
3)
Tarjih
Dan yang benar dalam
masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
a)
Hadits Abu Sa’id
Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda
tentang tawanan perang Authos:
تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ
حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً لاَ
“Jangan
dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak
hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224
Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi
yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya
yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari
beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
b)
Hadits Ruwaifi’ bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam, beliau bersabda:
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ مَنْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131,
Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan
oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
c)
Hadits Abu Ad-Darda`
riwayat Muslim dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
نَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ
مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا
نَعَمْ فَقَالَ أَرَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ
لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin
menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk
melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan
itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak
halal baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits)
ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya
menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau
ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini
kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia).
Catatan:
Nampak dari
dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak
boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina
dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
وَأُولَاتُ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka
sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Tholaq:
4)
Adapun perempuan yang
berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian
para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya
adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang
lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang
dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat
ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di
atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan
dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya
sebagaimana dalam firman Allah Jalla
Sya`nuhu:
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka
menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah: 228)[3]
C. Simpulan
Dari
uraian diatas, penulis mengemukakan argumentasi bahwa asal hukum perkawinan dengan wanita hamil oleh
laki-laki yang menghamilinya ataupun yang bukan menghamilinya adalah haram. Haramnya
menikahi wanita hamil oleh orang lain didukung dengan firman ”Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mu’min”.
Ayat dan hadits ini
tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun
hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat.
Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah
dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ
الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang
yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Sah
yang dimaksud disini adalah sebatas sahnya sebuah pernikahan sahaja sesuai
firman Allah Dari Aisyah ra berkata, “Rasulullah SAW pernah ditanya
tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk
menikahinya, lalu beliau bersabda, “Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah.
Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Tabarany dan
Daruquthuny).
Sedangkan untuk berhubungan badan diharamkan hingga
wanita melahirkan. Sesuai dengan Hadits Ruwaifi’
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam, beliau bersabda:
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ مَنْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”
Karena niad awal
mereka menikahi wanita hamil tersebut adalah untuk menutup aib sang wanita
hamil. Mereka baru bisa melakukan jima’ bila sudah menikah lagi setelah wanita
melahirkan dan tidak disyaratkan harus setelah 40 hari dan
kami belum menemukan keharusan menikahi ulang setelah 40 hari ataupun
ketentuannya. Jika mereka masih melakukan jima’ sebelum lepas masa iddahnya dan
sebelum menikah dua kali keduanya termasuk zina.
Namun Kantor
Urusan Agama (KUA) seakan membolehkan menikah dalam kondisi hamil. Sesuai fakta,
mereka mau menikahkan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun
yang tidak. Tapi kami belum survey ke KUA tentang apakah syaratnya sama ataupun
tidak. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini justru kebalikannya. Jarang
pernikahan mereka dua kali dilaksanakan. Sekarang dikembalikan pada anda, anda
meyakini yang mana. Wallahu’alam.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia (Jakarta,
1991/1992), hlm. 34
http://makalahcyber.blogspot.com/2012/05/makalah-masailul-fiqhiyah-menikahi.html diakses tanggal
dipos selasa, 1 mei 2012
http//:akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hokum-menikah-dalam-keadaan-hamil/diakses
tanggal 4 maret 2008
[1] Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta,
1991/1992), hlm. 34
[2]http://makalahcyber.blogspot.com/2012/05/makalah-masailul-fiqhiyah-menikahi.html diakses tanggal dipos selasa, 1 mei 2012
[3] http//:akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hokum-menikah-dalam-keadaan-hamil/diakses
tanggal 4 maret 2008
No comments:
Post a Comment